Di tengah bencana banjir dan longsor yang kembali menimpa berbagai wilayah, hati kita semakin terenyuh melihat warga yang kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan anggota keluarga. Setiap tahun, duka yang sama terulang dan setiap tahun pula, kita diingatkan bahwa bencana ini bukan semata-mata soal cuaca.
Beberapa waktu lalu, Presiden menyampaikan pandangan bahwa Indonesia perlu menambah penanaman kelapa sawit, bahkan menyebut bahwa sawit "juga pohon" sehingga tidak perlu khawatir dianggap sebagai penyebab deforestasi. Sekilas, pernyataan itu terdengar meyakinkan. Namun, masyarakat di daerah rawan banjir tahu betul bahwa hilangnya hutan alam tidak bisa ditambal dengan menanam sawit. Di lapangan, perbedaan dampaknya sangat terasa dan sayangnya, yang menanggung akibatnya adalah rakyat kecil di hilir.
Hutan alam memiliki akar yang dalam, menyebar, dan mampu menahan air di musim hujan. Akar-akar besar itu bekerja seperti spons raksasa yang menjaga tanah tetap stabil dan sungai tetap terkendali. Ketika hutan ditebang dan digantikan kebun sawit, struktur ini lenyap. Akar sawit memang kuat, tetapi dangkal dan tidak bercabang luas. Lahan yang dulu mampu menyerap air kini berubah menjadi permukaan licin yang mudah tererosi. Air hujan mengalir tanpa kendali, membawa lumpur, menggerus bantaran sungai, dan menghantam permukiman di dataran rendah.
Itulah mengapa setiap kali hujan lebat turun, desa-desa yang dulu aman kini tiba-tiba terendam. Warga yang tidak pernah membayangkan akan kehilangan rumah, kini tidur di posko pengungsian. Mereka tidak pernah ikut rapat soal izin lahan, tidak pernah mendapat untung dari ekspansi sawit, tetapi merekalah yang pertama kali merasakan akibatnya.
Harapan saya sederhana, sebelum menambah sawit, mari kita pastikan hutan yang tersisa dilindungi. Mari dengar suara para korban bencana yang hidupnya telah berubah karena hilangnya tutupan hutan. Terakhir, mari tempatkan keselamatan rakyat sebagai kepentingan tertinggi dalam setiap kebijakan.
Penulis: Haifa Nailah